Fenomena Umat Islam di Indonesia yang Sangat Mengherankan
“Sungguh mengherankan, umat Islam pada masa lampau mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun umat Islam hari ini, justru mengisi kemerdekaan dengan perpecahan antar golongan dan konflik kepentingan”
Sejak
lama para pemimpin Islam di Indonesia berusaha menemukan jalan keluar dari
persoalan yang membelit sebagian besar umatnya, yaitu kemiskinan dan
keterbelakangan. Setelah sekian lama terkungkung oleh kebijakan diskriminatif
penjajah, kemerdekaan memang memberi peluang umat Islam untuk mengembangkan
diri. Namun sampai lebih dari enam puluh tahun sesudah proklamasi kemerdekaan,
citra tentang kemiskinan dan keterbelakangan itu masih juga belum terhapus.
Sebagian besar umat Islam Indonesia jauh tertinggal dalam berbagai hal:
pendidikan yang rendah, bidang pekerjaan yang secara materil kurang
menguntungkan, skor kualitas hidup fisik yang rendah, dan status sosial ekonomi
yang juga rendah.
Sejak
awal, para pemimpin dan aktivis Muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang
memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya
memperoleh kekuasaan. Sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi tindakan dan
pikiran orang lain serta mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik,
kekuasaan dinilai sangat penting. Apapun tujuan akhir yang hendak
diperjuangkan, setiap aktivis harus mencapai tujuan antara memperoleh kemampuan
mempengaruhi orang dan proses kebijakan. Dengan kata lain, harus memiliki
otoritas dan legalitas. Cita-cita seperti mengurangi kemiskinan rakyat pasti
memerlukan kemampuan mempengaruhi proses kebijakan publik.
Data fakta dan sejarah
singkat dinamika Parpol Islam di Indonesia
a. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan
Belanda, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia, bukan saja
berhadapan dengan pihak penjajah, tetapi juga dengan orang-orang Cina.
Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI tahun 1911, kemudian Sarekat Islam, SI
tahun 1912) mulanya diarahkan kepada orang-orang Cina di Solo. Penyebarannya ke
segenap penjuru tanah air pada waktu itu, dengan meliputi segenap lapisan
penduduk dari bawah sampai atas, lebih karena didorong oleh perasaan seagama.
Akan tetapi dalam
lapangan politik, kalangan Islam tidak berhasil bersatu. Pemetaan umat Islam ke
dalam dua kelompok, tradisionalis dan modernis mulai berkembang pada masa ini.
Dan dalam bidang politik, kalangan tradisionalis belum menjadi penting sehingga
kalangan pembaharulah yang lebih banyak terlibat dalam politik. Oleh sebab itu,
perbedaan dalam politik di zaman Belanda tidak terjadi antara kalangan modernis
dengan kalangan tradisionalis, melainkan antara kalangan modernis sendiri.
Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan
agama.
Dalam bidang sosial,
Partai-Partai Islam dapat bekerjasama dan dengan organisasi sosial Islam dalam
federasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1935,
tetapi dalam bidang politik, masing-masing kelihatan bergerak sendiri-sendiri.
Ketika Gabungan Politik Indonesia (Gapi) didirikan pada tahun 1939, PSII
(Partai Syarekat Islam Indonesia) hanya bersedia masuk di dalamnya setelah
mendapat jaminan bahwa kelompok Salim (Anggota yang sudah dipecat) tidak akan
diajak. Sedangkan Komite Kebenaran dari Kartosuwirya berada di luar Gapi dan MIAI.
Pada masa pendudukan
Jepang, MIAI kembali didirikan di Jakarta tanggal 5 September 1942, federasi
ini kemudian diubah menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi) pada
akhir tahun 1943. Namun baik MIAI maupun Masjumi pada zaman jepang ini tidak
meliputi organisasi-organisasi di Luar Jawa karena pemisahan administrasi
pemerintahan ketika itu. Anggota anggota MIAI di Jawa pun terbatas pada
organisasi-organisasi Islam yang diakui.
Satu perkembangan
menarik pada masa ini adalah peluang yang diberikan Jepang terhadap ulama untuk
berkiprah dalam bidang politik. Pemerintah juga mendirikan kantor administrasi
agama yang berusaha melakukan semua kegiatan tentang Islam. Sejak itu, ulama
mulai tertarik untuk bekerja di kantor pemerintahan (pusat dan daerah). Akibat
negatifnya adalah berkurangnya jumlah ulama yang memusatkan perhatiannya pada
usaha menjaga keperluan rohani umat karena pindah ke kota-kota.
b. Kelahiran Partai
Politik Islam
Dari gambaran di atas,
terlihat bahwa organisasi Islam yang bergerak di bidang politik telah ada sejak
zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Namun untuk menyebut
organisasi-organisasi itu sebagai Partai Politik Islam mungkin tidak terlalu
tepat, sebab kala itu negara Indonesia belum merdeka.
Sesaat setelah kemerdekaan,
yaitu pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang
mendorong rakyat untuk mendirikan Partai. Meskipun pada awalnya, kalangan Islam
menyesalkan pengumuman tersebut dan dianggap tidak tepat waktunya, sebab
menurut mereka, pada masa itu yang dikehendaki adalah persatuan rakyat, dan
pendirian Partai-Partai dapat memecah belah rakyat, namun akhirnya mereka dapat
menerima alasan pemerintah bahwa dengan berdirinya Partai-Partai maka berbagai
aliran dalam masyarakat mendapat penyaluran dan dapat dipimpin ke jalan yang
teratur. Oleh sebab itu umat Islam merasa berkewajiban mengorganisasikan
kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah politik sehingga dapat melaksanakan
tugasnya dalam bidang politik.
1. Masjumi
Atas dasar itu,
diadakanlah Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7 – 8 November 1945 yang
dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam. Muktamar memutuskan
untuk mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia (Masjumi) yang
dianggap sebagai satu-satunya Partai politik bagi umat Islam. Pada awalnya,
hanya empat organisasi yang masuk Masjumi: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,
Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Muhammadiyah termasuk pembaru
(modernis) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya bersifat tradisional
dalam soal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam soal-soal dunia
sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. Pada tahun
1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia.
Organisasi-organisasi
Islam bergabung dengan Masjumi segera setelah mereka didirikan kembali. Di
Jawa, Persatua Islam (PI, Bandung) bergabung pada tahun 1948 dan Al-Irsyad pada
tahun 1950. sedangkan dua organisasi dari Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah
dan al-Ittihadiyah menjadi anggota Masjumi kemudian, setelah hubungan antara
Yogyakarta dan Sumatera Utara secara politis pulih.
Pada akhirnya semua
anggota istimewa Masjumi putus hubungan dengan Partai. Ini terjadi pada puncak
perpecahan antara Soekarno dan Masjumi, Sekurang-kurangnya pada saat
ketidakpercayaan Soekarno terhadap Masjumi dan juga sebaliknya meningkat.
Masjumi dilihat oleh Presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan pemberontakan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia; sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi
sebagai penguasa yang ingin menegakkan kediktatoran dan yang memberi angin bagi
Partai Komunis Indonesia.
Setelah pimpinan Partai
masjumi bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota Istimewa, melepaskan
ikatan antara anggota istimewa dan Masjumi (8 September 1959). Kebijakan ini
diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi, sekiranya Masjumi
mendapat hambatan dalam geraknya. namun, pada tahun 1960 Masjumi terpaksa
dibubarkan oleh perintah Soekarno.
2. Perti.
Partai Politik Perti berasal
dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang berpusat
di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Organisasi ini didirikan di suatu Pesantren di
Candung dekat Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930. Ia merupakan benteng
pertahanan golongan tradisionalis terkenal di Minangkabau terhadap penyebaran
dan gerakan modern.
Pada masa pendudukan
Jepang, Perti banyak terlibat dalam bidang pendidikan dan sosial. Pada tahun
1944, Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi
Islam di seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Sehubungan dengan
pengumuman pemerintah agar rakyat mendirikan Partai politik, pimpinan Perti
memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka sebagai sebuah Partai politik.
Keputusan ini diamil pada tanggal 22 November 1945 dan diperkuat oleh kongres
di Bukittinggi tanggal 22 – 24 Desember 1945. Berbagai alasan Perti berjalan
adalah : pertama, kelihatannya mereka tidak cocok berada dalam MIT (yang juga
berubah bentuk menjadi Partai politik) dan kemudian dengan Masjumi (sebagai
transformasi dari MIT) oleh karena dominasi kalangan modernis yang kurang
memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua,
para pemimpin Perti cepat melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham
agama mereka, dan ini menurut mereka lebih mudah dilakukan dengan mengubah
organisasi menjadi Partai daripada berjuang dalam MIT dan Masjumi.
3. Partai Syarikat
Islam Indonesia.
Partai Syarikat Islam
Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai Partai tertua di Indonesia,
karena ia memang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI, 1911) dan Sarekat
Islam (SI, 1912). Tetapi sebab langsung Partai tersebut didirikan kembali
padahal sebelumnya telah ada kebulatan tekad untuk melihat Masjumi sebagai
satu-satunya Partai Islam, ialah usaha formatir Amir Syarifuddin membentuk
kabinet pada tahun 1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi ditolak
oleh Masjumi. Rupanya kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir Syarifuddin;
mereka bersedia duduk dalam kabinet yang ia bentuk.
Segera sesudah PSII
didirikan kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan PSII mengeluarkan pengumuman
yang mengatakan bahwa PSII tidak ada hubungan atau ikatan dengan Masjumi. PSII
masuk kabinet semata-mata berdasarkan tanggungjawabnya terhadap negara yang
sedang menghadapi ketegangan yang sangat serta kesulitan besar sehingga Partai
merasa perlu menanggulanginya.
4. Nahdlatul Ulama
Organisasi ini
didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan
perkembangan paham pembaru dalam Islam di tanah air, serta usaha mempertahankan
ajaran tradisional dan mazhab di tanah suci yang baru dikuasai golongan Wahabi
di bawah Raja Abdul Aziz ibn Saud.
Perhatian NU dalam
bidang politik terlihat kentara pada masa revolusi. Organisasi ini mengeluarkan
fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib
bagi tiap muslim. Pada tahun 1949 ketika mulai tampak jelas bahwa Belanda akan
meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan kekurangserasiannya dengan Masjumi.
Adanya perubahan dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi
dijadikan alasan bagi penarikan diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU,
Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta pada akhir tahun 1949 diubah sedemikian
rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat penting bagi para ulama dan
pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak lagi dijadikan sebagai badan
legislatif di samping DPP, melainkan hanya dijadikan badan penasihat saja.
Segala persoalan hanya dari jurusan politik saja dengan tidak lagi mengambil
pedoman agama.
Akan tetapi, jika
ditelusuri lebih jauh, pengunduran diri NU dari Masjumi ini lebih terkait
dengan perebutan jabatan Menteri Agama antara Muhammadiyah (modernis) dengan NU
(tradisional). NU bersikeras agar jabatan itu menjadi miliknya yang tidak
disetujui oleh pimpinan Masjumi. Ketika akhirnya jabatan itu benar-benar jatuh
ke tangan Muhammadiyah, NU memisahkan diri dari Masjumi dan mendirikan Partai
politiknya sendiri. Hal ini terjadi pada kongres di Palembang akhir April 1952.
Pada Pemilu tahun 1955,
NU mendapat sukses yang luar biasa; dari 8 kursi di DPRS meningkat menjadi 45
kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang Masjumi (20,9%), Partai Nasional
Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai Komunis (16,4%). Partai-Partai
Islam lainnya hanya mendapat kurang dari 3% suara.
Pada periode antara
tahun 1960 sampai tahun 1965 kekuatan Islam terlibat konfrontasi yang sengit
dengan kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi terpimpin menjadi lebih agresif dalam
mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat Islam.
c. Masa Orde Baru.
Pada periode awal
pemerintahan orde Baru, kekuatan Partai Islam di tingkat nasional
memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang
1968 dan 1969 Partai-Partai Islam mensponsori program-program “hari peringatan
Piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap 22 Juni. Suatu hal yang perlu
disorot, isu ini kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU
maupun Parmusi (mantan Masyumi), yang kedudukannya sering dianggap mewakili
sayap Islam tradisional dan modernis yang sebelumnya mengalami keretakan.
Namun, keinginan para
pemimpin Partai Islam untuk merehabilitasi kembali Masyumi mulai mengambang
setelah Soeharto menolaknya pada tanggal 6 Desember 1967. Berbagai usaha
dilakukan oleh pemimipin Islam untuk melakukan konsolidasi Partai Islam, Namun
mereka mulai merasakan justru mulai mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru.
Keadaan itu tentu saja menyengat perasaan umat Islam, terutama kalangan aktifis
politik Islam, karena berbagai tekanan dan larangan itu justru berasal dari
pemerintah Orde Baru yang tokoh-tokohnya telah mereka bantu dalam masa
penumbangan Orde Lama. Terjadinya kesenjangan harapan dan kenyataan yang mereka
hadapi itulah yang menjadi salah satu sebab meluasnya konfrontasi kekuatan
politik Islam dengan negara pada dua dekade pertama Orde Baru.
Sebagai bagian dari
desain restrukturisasi politik Orde Baru, negara memandang perlu meneruskan
pengendalian Partai politik melalui penyederhanaan jumlah Partai politik yang
ada. Penyederhanaan dilakukan dengan cara pengelompokan (regrouping) dari
sepuluh kontestan Pemilu menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok
spritual-material; kedua, kelompok material spritual; dan ketiga adalah
kelompok karya.
Setelah sempat mendapat
ganjalan karena penolakaan dari PKI dan Parkindo untuk masuk dalam kelompok
sprituil, akhirnya disepakati pada tahun 1970 terbentuk dua koalisi di DPR.
Pertama, kelompok Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, PKI, Murba, Parkindo,
Partai Katolik, dan kedua, kelompok sprituil yang terdiri dari NU, Parmusi,
PSII, dan Perti.
Setelah melalui
serangkaian perundingan dan musyawarah, pada tanggal 5 Januari 1973, di Jakarta
berhasil disepakati pendirian Partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan.
Dalam “konfederasi” Partai-Partai Islam yang baru itu terlihat adanya kompromi
maksimal dari unsur-unsur yang berfusi, ditandai dengan upaya pengalokasian
kekuasaan Partai berdasarkan perolehan suara pada pemilu 1971.
Pada awal dekade
1980-an, rezim Orde Baru memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi
atau akomodasi. Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1982 untuk pertama
kalinya mengemukakan gagasannya untuk menerapkan pancasila sebagai satu-satunya
asas bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia.
Muncul reaksi yang
beragam dari berbagai kalangan umat Islam atas rencana tersebut. PB HMI pada
awalnya melakukan penolakan, namun akhirnya melunak setelah KAHMI yang
dikontrol oleh Nurkholis Majid Cs. mengimbau kongres HMI tahun 1986 agar tidak
berbenturan dengan masyarakat dan pemerintah. Muhammadiyah bersikap menunggu
hingga RUU Parpol dan Ormas disahkan, dan hanya mengusulkan penegasan bahwa
“Pancasila bukan Agama dan Agama tidak diPancasilakan”. Sementara reaksi
penolakan muncul dari pemimpin-peminpin masyarakat di kota-kota besar, terutama
di Jakarta. Tragedi Tanjung Priok yang hingga kini belum dapat diselesaikan
secara penuh merupakan ekses dari penolakan ini.
Di tengah meluasnya
keragu-raguan dan penolakan sebagian umat Islam, NU membuat kejutan dengan
menerima azas tunggal. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerimaan ini.
Pertama, terjadinya kemelut internal PPP di sekitar Pemilu 1982 telah merembet
ke tubuh NU hingga masing-masing fraksi yang bertikai saling memperebutkan
dukungan pemerintah. Kedua, munculnya tantangan yang luas di masyarakat
terhadap rencana azas tunggal mengakibatkan kelompok mana yang lebih dulu
menerima, memiliki bobot politis yang besar, ini berarti merupakan kesempatan
gerakan “pemikiran baru” di NU untuk memperoleh kepercayaan kembali negara
terhadap NU.
Akhirnya, munas NU di
Situbondo berhasil mengambil keputusan strategis menyangkut kembalinya NU
sebagai organisasi sosial secara penuh yang berarti melepaskan dirinya secara
organisatoris dengan PPP. Langkah ini kemudian dikenal sebagai kembali ke
Khittah 1926. Dengan diterimanya Pancasila sebagai azas tunggal oleh
Partai-Partai politik Islam, maka dapat dikatakan parta-Partai Islam sudah
tidak ada lagi sejak saat itu.
III. Fenomena menarik
Salah satu isu menarik
dalam perkembangan Islam di Indonesia di masa modern adalah kembali
berkiprahnya Partai-Partai politik Islam dalam pemilihan umum. Ada dua macam
Partai yang dapat disebut sebagai Partai Islam, yaitu; pertama, Partai yang
berazaskan Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah menjadi Partai
Keadilan Sejahtera, PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Nahdatul Ummah
(PNU, yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia,
PPNUI), kedua, Partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai azaznya tetapi
konstituen utamanya adalah umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituennya adalah warga NU, dan Partai
Amanat Nasional (PAN) yang konsituan utamanya adalah warga Muhammadiyah.
Fenomena munculnya
kembali Partai-Partai politik Islam ini sangat menarik, sebab hampir selama
masa rezim Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru sangat didominasi
oleh pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim orde baru memberikan
pengawasan ketat terhadap pergerakan dan Partai politik Islam.
Fenomena munculnya
kembali Partai-Partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir (sebelum
2008) menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran mereka di kancah
perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi penggembira saja, tetapi
justru menjadi pendulang suara rakyat yang patut diperhitungkan. Terbukti dalam
dua kali pemilihan umum 1999 dan 2004, meskipun belum berhasil menjadi
pemenang, tetapi kursi ketua MPR selalu menjadi milik Partai-Partai Islam,
pertama oleh Amin Rais dari PAN dan kedua Hidayat Nurwahid dari PKS. Kita tentu
masih akan terus menanti-nanti gerakan apalagi yang akan dilakukan oleh
Partai-Partai politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah Partai-Partai
ini akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di
negeri ini, ataukah Partai-Partai ini hanya akan menjadi penggembira saja di
kancah perpolitikan Nasional.[3]
IV. Soekarno dan Parpol
Islam
Pada periode
pemerintahan soekarno, dikenal sebuah peristiwa dekrit dimana pada dasarnya
Partai-Partai Islam yang ada menentang dikeluarkannya dekrit tersebut. Namun
pada tanggal 5 juli 1959 secara resmi dekrit tersebut dikeluarkan dengan
“terpaksa” dan dimulailah periode demokrasi terpimpin. Dekrit tersebut
menyatakan berlakunya kembali UUD 45 sebagai pengganti UUD 1950 yang dinyatakan
telah habis masa berlakunya. Melalui dekrit itu juga, majelis konstituante
dibubarkan karena dinilai tidak mampu merampungkan tugas, terutama dalam
menetapkan dasar pancasila ataupun Islam. berakhirnya era demokrasi parlementer
dan dimulainya suatu tatanan politik yang disebut era Demokrasi terpimpin, pada
gilirannya memberikan peluang terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan
Presiden Soekarno.
Sekalipun dekrit
tersebut dikeluarkan untuk menembus jalan buntu konstitusional, pada
kenyataannya lebih menguntungkan kelompok pendukung pancasila ketimbang
kelompok Islam, sekalipun kelompok terakhir sampai pada batas tertentu masih
didengar tuntutannya. Spontan setelah dikeluarkannya dekrit tersebut, mereka
terpecah menjadi dua kelompok, Masjumi menilai bahwa sistem demokrasi terpimpin
otoriter, sistem demikian merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam.
Kelompok kedua, NU, PSII dan Perti yang tergabung dalam Liga Muslimin menilai
dukungan terhadap sistem ini sebagai sikap yang realistik dan pragmatik.
Dr. Syafi’i Ma’arif
membenarkan bahwa, Pendekatan akomodatif Partai-Partai Islam terhadap sistem
politik demokrasi terpimpin ditafsirkan oleh sebagian pemimpin Islam sebagai
penyimpangan dari prinsip-prinsip perjuangan dalam Islam. Tapi pemimpin muslim
yang turut dalam sistem tersebut berpendapat bahwa partisipasi mereka bila
dilihat dari sisi pandangan politik, hanyalah suatu sikap realistis dan
pragmatis dalam menghadapi sistem otoriter.
Secara serius atau
sebaliknya posisi politik Islam selama periode (soekarno) relatif lemah,
(minoritas) meskipun pemeluk Islam di Indonesia adalah mayoritas.[4]
Dengan demikian,
Soekarno memiliki peran secara tidak langsung terkait dengan perpecahan dalam
tubuh Partai politik Islam. Peran tersebut lebih didorong oleh upaya dan
kepentingan politiknya, termasuk dalam rangka mempertahankan kekuasaan.
Sementara telah terjadi friksi dalam tubuh umat Islam sehingga kondisi demikian
mampu ditangkap dan dimanfaatkan untuk melemahkannya.
V. Cita-cita Partai
Politik Islam
Jika kita melihat
kancah perpolitikan di Indonesia saat ini, sungguh sangat memprihatinkan,
selain pemahaman tentang demokrasi yang jauh dari cita-cita terminologi
demokrasi itu sendiri, perilaku elit politik dan praktisi hukum juga jauh dari
kesan mendahulukan kepentingan negara dan bangsa secara umum, yang ada hanyalah
kebijakan-kebijakan yang cenderung menguntungkan satu kelompok atau golongan,
mafia hukum dan rekayasa-rekayasa politik seperti yang terjadi pada praktek
demokrasi di negara-negara sekuler yang pada intinya jauh dari tujuan
demokrasi.
Berangkat dari realita
semacam itu, penulis menilai perjuangan pemimpin-pemimpin Islam dengan cara
mendirikan Partai politik yang berbasis dan berideologi Islam sangat
dibutuhkan, karena selain untuk melegalkan gerakan dakwah Islam juga untuk
mengimbangi kebijakan-kebijakan penguasa diktator. Setidaknya ada beberapa
cita-cita mengapa Partai Islam berdiri.
1. Pengaruh negatif
penguasa-penguasa diktator terhadap perkembangan dakwah Islam secara umum,
kebebasan beribadah secara khusyu’ dan benar serta penegakan syari’at Islam
secara khusus, ini semua dikarenakan umat Islam berada di bawah bayang-bayang
penguasa atau pemimpin dzalim bahkan kafir. Allah swt. Telah melarang kita
menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, dalam firman-Nya Allah
berfirman:.
“Janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan hanya kepada
Allah kembalimu.” (QS. Ali Imran:28)
Pada kenyataanya,
meskipun di sebagian negara sekuler umat Islam diberikan keleluasaan untuk
menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam, akan tetapi pada wilayah tertentu umat
Islam tidak mendapatkan peran yang pada hakikatnya wilayah (di mana umat Islam
dilarang mendekatinya) itu merupakan inti atau kepala yang mampu melegitimasi
dan menjamin kebebasan umat Islam menjalankan agamanya secara sempurna, dengan
kata lain kepala itu adalah kekuasaan dan otoritas yang akan melindungi dari
kemungkinan intimidasi dari pihak penguasa atau kelompok pro penguasa. Telah
terbukti pada rezim orde baru para da’i tidak diberikan kebebasan untuk bertemu
dan berinteraksi secara terbuka dan langsung dengan semua objek dakwah.
Otoritariarisme dan kediktatoran membuat dakwah (di Indonesia) masa itu tidak
bisa bernafas lega. Di sana tidak ada tempat bagi ekspresi yang lepas. Kondisi
seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, sebagaimana yang kita tahu di
sebagian negara-negara mayoritas muslim tak jauh berbeda keadaannya.
Realitas seperti ini
tidak bisa kita pungkiri lagi, dan telah terjadi didepan mata kita sendiri.
Banyak contoh yang bisa kita ambil salah satunya adalah pelarangan mahasiswi
muslim memakai jilbab (yang merupakan jati diri wanita muslimah) saat memasuki
areal kampus di beberapa negara sekuler, meskipun mereka (mahasiswi muslim)
tidak dilarang beragama Islam akan tetapi haknya sebagai seorang penganut ajaran
Islam telah diintimidasi dan kebebasan menjalankan agamanya ternodai, lalu
siapa yang bertanggung jawab?
Penjajahan terselubung
terhadap negara-negara ketiga, secara khusus kita ambil contoh tindakan dan
perilaku Israel terhadap negara Palestina dan sekitarnya, banyak kemungkinan
alasan mengapa mereka (Israel) tidak mau mundur sedikitpun dari tanah
Yerussalem, mulai dari alasan menggali harta karun warisan Nabi Sulaiman as.
(dengan segala kontroversinya), mengambil kitab-kitab sihir (yang keduanya mereka
yakini berada di bawah masjid al-aqsha), sampai cita-cita turun temurun
mendirikan kerajaan Yahudi di Yerussalem. Tindakan orang-orang Israel yang
sedemikian merajalela terhadap rakyat Palestina (pada hakikatnya umat Islam),
tidak mendapatkan pertentangan yang berarti dari negara-negara adidaya dan
Eropa secara umum, yang terjadi bahkan negara-negara arab dan mayoritas Islam
tak banyak berkutik ketika dibenturkan dengan konflik seperti ini, meskipun
hanya sekedar memberi bantuan materil berupa makanan, pakaian dan obat-obatan.
Hal ini menunjukkan lemahnya pengaruh dunia Islam pada tatanan diplomasi dan
peranannya dalam lingkup dunia international, walaupun konflik-konflik itu
sendiri terjadi di tanah mereka (dunia Islam). Dari sinilah perlunya
mengembalikan kekuasaan Islam yang sempat berjaya hingga 1923 M, Meskipun
bentuknya tidak seperti sistem khilafah Islamiyah, minimal umat Islam memiliki
pemimpin berakhlak Islami yang kebijakannya diperhitungkan dan tidak hanya
menjadi peran pinggiran dalam literatur negara.
Menyinggung soal nama
pemimpin Islam, Muhammad Natsir dalam kapita selekta berpendapat bahwa titel
khalifah tidak menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio
sine quo non. Akan tetapi orang yang diberi kekuasaan memimpin negara mampu
bertindak secara bijaksana dan menjalankan hukum-hukum Islam sebagaimana
mestinya dalam tatanan kenegaraan, baik secara kaidah maupun praktek. Bagi
beliau syarat menjadi pemimpin negara Islam adalah agama, sifat, akhlak, tabiat
dan kecakapannya dalam memegang kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.[5]
2.
Pengejawantahan Islam sebagai agama universal dan komprehensif, melihat
hajat manusia abad ini, tidak bisa dihindari lagi bahwa kehidupan berdemokrasi
begitu menjamur terutama mereka yang hidup di negara-negara maju, oleh
karenanya maka sebagian politisi muslim berpendapat bahwa, daripada bersikap
bermusuhan sementara pada kenyataannya hajat hidup manusia berada dalam lingkup
demokrasi, lebih baik kita memanfaatkan beberapa bagian demokrasi yang sesuai
dengan sistem syura (sebuah sistem yang diyakini otentik dari ajaran Islam)
seperti sistem perwakilan dan sistem pemilihan. Anis Matta melihat bahwa bukanlah
sikap yang bijaksana apabila para da'i menjauhkan diri dari sistem politik,
karena itu berarti kita telah membiarkan masalah utama yang mengatur hajat
hidup orang banyak dipegang oleh para sekularis.
Masih menurut Anis
Matta di dalam bukunya “menikmati Demokrasi”. Negara mana di dunia ini yang
bekerja tanpa demokrasi di dalamnya? Sistem perwakilan, pemilihan umum,
penetapan hukum berdasar suara terbanyak atau konsensus telah menjadi bagian
tak terpisahkan dari sistem kenegaraan. Negara-negara paling maju di dunia
kebanyakan adalah negara pelaku demokrasi, bangunan sistem berbalut kapitalisme
ini telah menunjukkan kepada dunia tentang apa arti kebebasan berpikir,
berpendapat, dan beragama. Kebebasan adalah isu yang paling sentral. Ada dua
sikap ekstrim tentang demokrasi, ada yang begitu memujanya sebagaimana
pernyataan Francis Fukuyama dalam bukunya "The End of History",
tetapi disisi lain ada yang memandang sistem ini sebagai penyebab hancurnya
sistem kemanusiaan.
3. Menampilkan wajah
Islam dalam berdemokrasi.
Ketika kita menyinggung
masalah politik, maka yang terlintas di benak kita adalah wajah politik yang
suram, kotor, penuh tipudaya dan kecurangan. “Tidak ada politik yang bersih”
menjadi sebuah pernyataan yang seakan-akan telah paten di otak sejak kita
dilahirkan ke dunia, maka berangkat dari itulah penulis menilai bahwa tidak ada
“kotoran” yang tidak dapat dibersihkan, dengan kata lain setiap sesuatu yang
kotor harus dibersihkan. Hal ini tentu saja kembali kepada individu-individu
(praktisi) yang menjalankan politik dan demokrasi itu sendiri, bagaimana para
politisi Islam itu mengaplikasikan Akhlaqul Karimahdalam
kehidupannya berpolitik dan berdemokrasi, sehingga ada dampak positif pada
setiap keputusan dan kebijakan politiknya.
Dr. Yusuf Qordhawi
menyatakan bahwa, disana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap
orang yang akan mengemban suatu pekerjaan.
Pertama: Mampu
mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di bidangnya (kompeten).
Kedua: Amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan
pelakunya akan takut kepada Allah Ta'ala. Itulah yang diungkapkan oleh
al-Qur'an melalui lisan Nabi Yusuf as:
"Artinya : Berkata
Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan" [Yusuf : 55]
Juga dalam kisah Musa
as, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua renta:
"Artinya : Karena
sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" [Al-Qashash: 26]
Dengan demikian,
kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi
syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan
sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.[6]
Diantara poin demokrasi
yang sesuai dengan Islam adalah sistem Syura. Syura atau musyawarah adalah
bagian penting dari kehidupan berdemokrasi, musyawarah dilakukan untuk mencari
jalan keluar dari permasalahan-permasalahan rumit, dengan cara mufakat atau
pengambilan suara mayoritas. Di dalam Islam, konsep musyawarah telah diperintahkan
secara jelas dan telah dipraktekkan dalam kehidupan Rasulullah Shallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dan para sahabatnya, sebagaimana firman Allah swt. Dalam
al-qur’an:
"Maka sesuatu
apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup didunia; dan apa yang
ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Tuhannya, mereka bertawakkal, dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatanperbuatan keji, dan apabila mereka marah
mereka memberi mnaf Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka." (Asy Syura: 36-38)
Serta beberapa
peristiwa penting dalam sejarah kekhilafahan Islam, seperti proses pengangkatan
Abu Bakar Radliyallahu ‘Anhu sebagai khalifah pertama setelah
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat.
Di sinilah pentingnya
menampilkan kepada masyarakat demokrasi bahwa di dalam Islam telah ada konsep
musyawarah sebagai salah satu nilai kemanusiaan yang harus dipegang teguh.
Poinnya adalah, bahwasanya musyawarah memiliki makna penting di dalam kehidupan
manusia baik secara individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
4. Upaya
mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas.
Kita memang bebas
berdakwah, tapi para pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang
berlaku di sini (demokrasi) bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas.
Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan sesuatu yang benar tapi tidak
legal adalah salah. Begitulah aturan main demokrasi. Karena itu, masyarakat
demokrasi cenderung bersifat eufimistis, longgar, dan tidak mengikat.
Yang kemudian harus
kita lakukan adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas.
Bagaimana membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi tidak legal
dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu pulalah yang dilakukan para
pelaku kejahatan.
Maka, penetrasi
kekuasaan dalam negara demokrasi harus dilakukan dengan urutan-urutan begini.
Pertama, memenangkan wacana publik agar opini publik berpihak kepada kita,
inilah kemenangan pertama yang mengawali kemenangan-kemenangan selanjutnya.
Kedua, formulasikan wacana itu ke dalam draft hukum untuk dimenangkan dalam
wacana legislasi melalui lembaga legislatif. Kemenangan legislasi ini menjadi
legitimasi bagi negara untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para
eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.
Jadi, itulah tiga pusat
kekuasaan dalam negara demokrasi : wacana publik, legislasi, dan eksekusi.
Demikianlah dakwah
harus bekerja di era demokrasi Ada kebebasan yang kita nikmati bersama. Tapi,
juga tersedia ”cara tersendiri” untuk mematikan kemungkaran dan melakukan
penetrasi kekuasaan. Anggaplah ini sebuah seni yang harus dikuasai para
politisi dakwah.[7]
Penutup
Islam menyeru kepada
kita untuk berjuang dan berusaha untuk membebaskan diri dan orang-orang yang
tertindas di bumi ini dari cengkeraman para penindas, penjajah dan diktator.
Allah swt. berfirman:
"Mengapa kamu
tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik
dari laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, "Ya
Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zhalim penduduknya
dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari
sisi Engkau." (An-Nisa': 75)
Apabila manusia tidak
mampu untuk keluar dari tekanan dan penindasan, maka tidak ada alasan bagi mereka
untuk tidak hijrah dari kampung halaman mereka, dan tidak alasan untuk menerima
kehinaan, serta tetap di bawah cengkeraman kezhaliman dan kediktatoran.
Al-Qur'an telah memberi ancaman yang keras bagi orang yang rela untuk hidup
terhina dan menyerah, di mana ia tidak termasuk orang yang memerangi, dan tidak
pula termasuk orang yang berhijrah bersama Muhajirin. Allah swt berfirman:
"Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) Malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu
ini?" Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di
negeri (Mekkah)." Para Malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu
luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu
tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang
tidak mampu berdaya upaya dan õidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka
itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaaf lagi Maha
Pengampun." (An-Nisa': 97-99)
Sesungguhnya orang yang
memberikan haknya kepada Islam berupa pemahaman dan merenungkannya akan
mendapatkan bahwa sesungguhnva inti dari semuanya adalah tauhid.
Tauhid adalah "ruh
eksistensi Islam," tauhid merupakan asas pemikiran dan asas fiIsafat yang
merealisasikan prinsip kebebasan, persaudaraan dan persamaan secara
keseluruhan. Kalimat tauhid adalah kalimat "Laa ilaaha illallah"
yang berarti menggugurkan orang-orang yang mengaku tuhan dan yang diktator di
bumi dan menurunkan mereka dari singgasana Rubbubiyah palsu
dan kesombongan (merasa tinggi) di atas makhluk sesamanya menuju persamaan hak
antar manusia seluruhnya dalam beribadah kepada Allah.[8]
Wallahu A’lam Bi
Ash-Shawab.
Referensi
1. Al-Qur’an
dan terjemahannya.
2. Kamus
besar bahasa Indonesia.
3. Anis
Matta “Menikmati Demokrasi”.
4. Dr.
Syafi’I Ma’arif: “Politik dan Islam di Indonesia”.
5. Dr.
Yusuf Qardhawi: “Sistem Masyarakat Islam”.
6. Dr.
Yusuf Qardhawi: “Al-huluul Al-mustaurida”.
7. Makalah
“Sejarah Partai Islam” oleh. Mohd. Umarella
8. Makalah
“Peran Soekarno dalam perpecahan perpolitikan Islam di Indonesia”, Lihat: www.muslimdaily.net
9. Moehammad
Natsir “Capita Selecta”.
[1] . Makalah ini di
presentasikan pada kajian KIFAYAH, hari Jum`at 02 April 2010 di kediaman Sdr.
Bruri Cs (H-6)
[2] . Pemakalah adalah
mahasiswa Al-Azhar, fakultas Ushuluddin, jurusan Da’wah Tk. IV
[3] . Makalah “sejarah
Partai Islam”, oleh: Moh. Shaleh Umarella
[4] . Dr. Syafi’i
Ma’arif : politik dan Islam di Indonesia.
[5]. Moh. Natsir:
Capita Selecta (Hal-443, 448)
[6] . Al-Huluul
al Mustaurida (hal. 77, 78).
[7]. Anis Matta:
Menikmati Demokrasi
[8]. Dr. Yusuf
Qardhawy: Sistem Masyarakat Islam.
Komentar
Posting Komentar